Mengungkap Tabir Desa Kumbo
Pemukiman Masyarakat Desa Kumbo, Sedan, Rembang, Jawa Tengah (Doc. Kolesi Pribadi, 2017) |
Selepas mengambil gambar dari altar Masjid Al-Ihsan desa Kumbo, kami bertiga, saya sendiri, mas Adit, dan mas Ahmad berkunjung dirumahnya. Ini adalah obrolan pembuka kali kedua setelah berbincangan saat kegiatan Sedekah Pohon seminggu yang lalu.
Bincang malam tadi cukup hangat. Tiga teh seduh yang dituangkan di dalam gelas berornamen jagat kembang, dan tiga piring jajanan nan gurih telah memantik nikmatnya malam.
Cakap alur kami mulai dari menanyakan kabar. Kesan rumah dan sudut ruang yang ramah lingkungan pun tak luput dari pembuka obrolan. Rumah kayu memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Beberapa pengalaman ketika obrolan berlangsung, tematik rumah tetap menjadi pilihan. Dengan sanjung dan penghormatan nan dalam, obrolan malam tadi semakin dekat tanpa sekat. Tak lama kemudian, kami pun mulai menaruh jawab terhadap hal ihwal yang bersinggungan dengan kelangsungan cerita tutur di desa Kumbo.
Menurut Ashadi, terdapat enam cerita tutur yang masih lekat dengan alam rasa masyarakat desa Kumbo. “Kathah mas. Ono gunung nganten, kayu kepok, watu tumpang, kali jublak, tali pecis, karo iku mas, kumbokarno,” ungkap Ashadi. Kami cukup menikmati tutur beliau. Ulasan singkat nan bertaut satu dengan lainnya, semakin meneguhkan kami bertiga menjadi pendengar yang khikmat. Namun tak lama kemudian, tamu kedua setelah kami, mau tidak mau harus menyela bincang malam nan penuh kabar.
“Kulo nuwun,” salam tamu.
“Monggo-monggo pinarak, pinarak monggo,” sahut Ashadi.
Dua tamu, laki-laki paruh baya, berpecis hitam dengan mengenakan sarung dan batik lengan panjang berbuka dua benik kancing bagian atas, tampaknya sudah dikenal oleh modin desa ini. Kami bertiga tetap duduk di atas meja sudut dengan mejanya berkayu. Sedangkan Ashadi, dengan sigap beranjak menuju sudut ruang berkarpet beludru yang tampak kusam.
Desain rumah Jawa berbahan kayu jati tampaknya cukup ramah vibrasi. Meraka tampak memperbincangkan suatu hal serius, namun kami bertiga tidak mendengar tema ujung dan pangkal perbincanan mereka.
Sesekali menyapa senyum, jajanan yang berbaris rapi di atas meja malam tadi, kami nikmati dengan lahap. Sesekali duakali, kamipun mengulas informasi enam cerita tutur masyarakat Kumbo. Dengan kejelian mas Ahmad, saya dan Adit sangat terbarukan saat bingung alur menggoga. Tak lama kemudian ajakan sholat berkumandang lagi.
“Tamune katah nggih pak,” tanya kami
“Mboten. Niku wau tangklet babakan nikah. Niku lho mas, tiyang Bekasi ajeng nikah teng mriki. Dados piyambake tangklet sarate nopo mapon. Ngoten,” tegas jawab Ashadi.
“Nggih, nggih, nggih. Terus yen ajeng mangertos cerita tutur niku kalih sinten mawon?”, tambah harap kami.
Nggih niku mas. Ingkan paling mangertos nggih mbah Kadar kalian mbah Sirin. Niku tiyang kalih. Wonten malih, mbah Mad. Tapi nggih nembe mawon kapundut,” jawab Ashadi.
Seraya mengidentifikasi pelaku tutur di desa ini, malam tadi kami mendapatkan enam penutur yang akan kami datangi. Pun juga tidak lepas, melalui pak Ashadi, kami mendapatkan alur penutur pendukungnya.
Malam yang cukup banyak harapan dalam meniti cerita tutur desa Kumbo. Kami pun mendapatkan pola struktur dari beragam sudut. Pemilik tanah, pendidik, pemuda, kegiatan sosial keagamaan, hingga potensi lingkungan desa Kumbo.
Selepas dari rumahnya, kami bertiga bergegas menata buah tanya. Apakah penamaan “Kumbo” berhubungan mesra dengan barisan pegunungan nan kokoh yang mengitari pemukiman desa ini? Ataukah nama “Kumbo” bertaut kelindan dengan setting peristiwa masa lalu, yang menyimpan aroma rahasia ramai namun sunyi karena tujuan yang mulia? Ataukah yang lainnya? Nantikan kelanjutan mengungkap tabir desa kumbo part 2.
Kumbo, 07 Maret 2017
Tidak ada komentar: