Berkunjung di Desa Pakis Kecamatan Sale

Buah Kelapa desa Pakis (Dok. Pribadi, 2017) 
Sore tadi, saya bersama teman-teman pegiat dokumenter Komunitas Rumah Baca,  jalan-jalan ke arah selatan kawasan Rembang. Bersama mas Adit, dan mas Bodor, kali ini tidak dengan mas Mufid karena ada acara dengan pacarnya, kami mengunjungi desa Pakis kecamatan Sale.

Agak sedikit lelet sore itu, pukul 14.30 wib lebih sedikit, kami bertiga meluncur dengan dua sepeda buntut. Setahun yang lalu kami juga berkunjung ke desa sentra kelapa ini.

Tampak perubahan disana-sini. Akses jalan menuju desa ini cukup kentara. Pembukaan akses jalan baru menuju persawahan desa pun sedang dikerjakan. Semoga Pemerintah Daerah Rembang semakin perhatian dengan pembangunan desa-desa bagian selatan, semakin meningkat, tanpa putus, dan berkelanjutan.

Panorama alam desa Pakis cukup menarik untuk menjadi bidikan kamera dokumenter kami. Setelah kami menyusuri jalan berkelok tajam dan mendaki, setelah melintasi deretan desa di atas roda angin, kami pun disuguhi dengan deretan kampung desa Pakis yang eksotis. Sesekali sekawanan ternak dengan rapi melintas, spot deretan rumah kampugn Pakis ini tidak lepas dari bidikan dokumentasi kami. Deretan rumah itu sepintas berjajar seirama dengan altar pegunungan Pakis. Lambai daun kelapa yang membentang luas, seakan tampak membangun alur persawahan terasering yang subur dan asri.

Desa dengan sentra hasil bumi buah kelapa ini, tampak menjanjikan sekali. Disetiap sudut jalan utama yang menghubungkan jalan pertanian dan persil, terdapat tumpukan buah kelapa muda yang siap didistribusikan ke kawasan Pamotan, Lasem, dan Rembang kota. Di bulan puasa ini banyak pesanan buah kelapa muda, ungkap petani desa Pakis, di saat sembari bercengkerama dan menemani mas Adit dan mas Bodor mengambil lanskap bumi Pakis yang indah ini.

Usai mengambil spot deretan rumah dan kebun kepala, kami bergegas menaiki perkampungan desa. Setiap langkap kami, serasa beriringan dengan sapa ramah penduduk. Kampung desa Pakis ini cukup rapat. Sekitar empat ratus rumah lebih, bangunan rumah telah berdiri. Dahulu, tahun 1967 perkampungan ini hanya didiami seratus tujuh belas rumah saja. Mereka adalah keturunan dari keluarga simbah Soko.

Menurut cerita, simbah Soko berasal dari daerah Pamotan, tepatnya dari Samaran. Sebagian besar, penduduk desa ini memiliki hubungan alur genetik dengan simbah Soko. Cerita lisan yang berkembang, nama Soko selalu berhubungan dengan keberadaan pohon soko yang saat di tengah kampung. Suatu ketika, pertama kali orang yang buka lahan di desa Pakis ini membuat sumur. Orang tersebut kemudian menancapkan tongkat yang terbuat dari dahan kayu soko ke dalam sumur. Dan singkat cerita, kemudian tongkat itu tumbuh menjadi pohon soko yang hingga sekarang masih kokoh berdiri.

Perihal asal usul nama desa Pakis, cerita rakyat yang berkembang menuturkan bahwa nama pakis berasal dari banyaknya vegetasi pohon pakis. Dahulu, pohon pakis itu tumbuh berderet dengan rapi membentuk alur jalan kawasan pegunungan di kawasan Rembang bagian selatan ini. Keberadaan pohon pakis inilah, tersebutkan kawasan ini dengan sebutan pakisan, yang kemudian istilah pakisan ini menjadi identitas desa hingga digunakan menjadi nama desa, yaitu desa Pakis.

Pola pemukiman desa Pakis cenderung memusat dan memanjang di atas altar persawanan nan subur. Tata rumah menyesuaikan dengan kondisi alur pemukiman berundak. Masyarakat desa membangun lahan untuk mendirikan kampungnya dengan deretan tebing bertata batu. Batu-batuan tersebut ditata dengan rapi menyerupai tembok memanjang seiring alur panjang jalan yang membentuk halaman depan perumahan kampung. Batu-batu itu didapatkan dari sebaran material yang ada di tanah kebun mereka. Dengan semangat, penduduk Pakis memuliakan sebaran batu itu, dengan membawanya ke rumah. Selepas itu, areal kebun yang telah rapi, siap untuk ladang tani padi. Inilah sebabnya mengapa di perkampungan ini berlimbah batu dan berdaya padi.

Batu-batuan tersebut tertata dengan rapi. Tanpa sedikit hawatir, walau batu tanpa balur pengikat, tatanan batu terbukti kokoh dan tentang. Arah mata anginpun berhembus hingga ke latar rumah, setelah menembus barisan batu penegas halaman depannya.

Tatanan batu yang ada telah menjadi penentu alur jalan setapak penghubung antar rumah penduduk. Disela-sela ruang terbuka depan rumah penduduk, tumbuhlah pohon pisang dan pohon kelapa. Dengan ramah seakan menyatu membentuk kawasan kampung berlimpah hasil bumi. Pisang-pisang itu bertandan searah cahaya pagi. Dan tidak lebih dari setengah meter, batang kelapa itu telah berbuah dengan lebatnya.

Semakin kami menaiki perkampungan dengan altar pegunungan Tapak yang gagah ini, semakin kami terpukau. Lanskap perkampungan desa tampak asri saat diintip dari sudut puncak sawah terasering itu. Sore tadi, di-iringi dengan lantunan kitab suci dari surau dan masjid, menambah suasana tenang dan damai di bulan puasa desa ini. Tak satupun spot alam tertinggal dari perhatian mas Adit dan mas Bodor. Mereka berdua bergantian mendokumentasikan suasana asri di sore tadi.

Samakin menaiki, semakin terasa sejuk kampung ini. Tampak jelas, deretan awan kabut berarak melintas pelataran kampung. Bentang awan itu semakin jelas batasnya, saat dilihat dari bingkai bukit gunung Tapak. Kami bertiga sangat cukup menikmati keasrian desa ini. Nuansa yang sejuk dan damai, terlihat dari pojok sawah kampung yang sedang tumbuh tanaman jagung dengan tumpang sari kacang hijau yang sedang kuncup ini.

Selepas mendokumentasikan spot kampung dari altar sawah, kami di ajak mas Sareh dan adik bungsunya (pemuda desa Pakis yang sebelumnya kami kenal tiga tahun yang lalu), menuju kebun kelapa milik orang tuanya. Menyusuri jalan setapak, sampailah kami di kebun kelapa yang terhampar luas. Panorama kebun kelapa itu menyatu dengan petakan sawah terasering. Tumbuhan padi itu beliuk dengan batas pematang yang tumbuh pohon kelapa. Kami cukup terpukau, tampak seperti dalam lukisan. Suasana desa dengan sawah berhampar luas, padi yang menguning, pohon kelapa yang berjajar rapi, dan latar pegunungan nan asri.

Kami pun segera berjalan membelah di atas pematang sawah menuju pohon kelapa. Dengan terampil, mas Sareh tanpa ragu memanjat pohon kelapa. Satu persatu buah kelapa muda itu dipetik disela-sela pelepah pohonnya. Sungguh tampak terlatih saat memanen buahnya. Buah itu dipetik dan dijatuhkan satu persatu pada semak pohon. Seiring dengan lambai nyiur daun kepala, buah itu bersandar tepat pada posisinya. Kamera mas Adit pun dengan semangat mendokumentasikannya.

Tak lama kemudian, mas Sareh turun dari pohon kelapa. Tapak kaki dan pohon kelapa itu seakan berdamai. Tanpa salah sedikitpun, telapak kakinya tepat mengangkangi pohon kepala.

Bergegas kami berlima menuju rumah mas Sareh. Sore itu kami di ajak menyusuri jalan pertanian yang baru dikerjakan. Benar-benar baru akses jalan sore itu. Bahkan material batunya tampak masih baru. Pelan namun pasti, perjalanan menuju rumah mas Sareh harus berbagi dengan pengguna jalan yang lain. Karena pada saat yang sama, penduduk desa juga sedang menikmati sejuknya kampung halaman. Sesekali kami menyapa, mereka bergegas melempar senyum. Seakan penduduk itu sedang menanti suara adzan magrib dengan hikmat, dimana saat makan dan minum menjadi nimat dan tanpa merasa bersalah.

Penyambutan keluarga
Saat saat menunggu beduk dengan kelapa muda
Menyruput es kelapa muda
Asatnya ritual asap
Sego jagung kampung pakis
Oseng kates berlimpah cabe
Sholat setelah kenyang
Masjid baru jamaah lama
Cerita masa dengan pemilik tales manis
Pamit untuk menulis
(tulisan sementara putus, karena tiba-tiba banyak pengunjung di rumah baca)


Pamotan, 14 06 2017

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.